NH307.com, Medan – Perwakilan sekelompok dosen dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Indonesia, mengajukan tuntutan keras melalui surat resmi yang ditujukan langsung kepada pejabat-pejabat negara, termasuk Presiden RI Prabowo Subianto, serta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Tuntutan ini fokus pada pembenahan mendalam terhadap sistem pendidikan tinggi yang dinilai timpang, tidak transparan, dan memberatkan para dosen. di Medan. Kamis (16/1/2025).
Dalam surat yang dipimpin oleh Dr. Hj. Maysarah Nasution, SH, MH, sebagai perwakilan dosen, terungkap sejumlah masalah serius yang telah mendera dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Mulai dari rendahnya gaji dosen, ketidaktransparanan sistem administrasi, hingga praktik nepotisme dan korupsi yang merajalela di banyak PTS. Para dosen mengecam perlakuan tidak adil yang mereka alami, yang berdampak langsung pada kualitas pendidikan dan kesejahteraan mereka sebagai tenaga pendidik.
Dalam aspirasi yang disampaikan, ada lima tuntutan tegas yang harus segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah, di antaranya:
1. Reformasi Total Sistem Beban Kerja Dosen (BKD) : Dosen meminta agar beban kerja dapat diinput langsung ke sistem sejak jadwal mengajar ditetapkan tanpa melalui ketergantungan pada Surat Keputusan (SK) dari universitas. Sistem yang ada saat ini dinilai memberatkan dan tidak adil.
2. Sanksi Berat bagi Perguruan Tinggi yang Tidak Mematuhi Kewajiban Gaji: Perguruan tinggi yang menggaji dosen di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) harus dikenakan sanksi tegas. Dosen juga meminta agar universitas yang tidak memberikan fasilitas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan kepada dosen diberi tindakan yang setimpal.
3. Pindah Homebase Dosen Tanpa Hambatan: Para dosen menginginkan proses perpindahan homebase antar universitas menjadi lebih mudah dan tanpa prosedur berbelit, terutama bagi dosen yang memilih keluar demi mencari kehidupan yang lebih baik.
4. Kewajiban Struktural Akademik Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pimpinan universitas seperti rektor dan dekan harus melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukan hanya membebankan tugas itu kepada dosen biasa. Para pimpinan universitas dinilai terlalu lepas tangan dalam menjalankan tanggung jawab akademik.
5. Royalti untuk Penggunaan Ijazah Dosen: Universitas yang menggunakan ijazah S2/S3 dosen untuk keperluan akreditasi diminta memberikan royalti tambahan di luar gaji rutin, sebagai pengakuan terhadap kontribusi dosen dalam meningkatkan kredibilitas kampus.
Dr. Maysarah menegaskan bahwa pengabaian terhadap hak-hak dosen ini bukan hanya merugikan tenaga pendidik, tetapi juga merugikan generasi penerus bangsa yang akan tumbuh di bawah naungan sistem pendidikan yang tidak adil.
“Kami, dosen, adalah ujung tombak pendidikan di negara ini. Kami tidak bisa terus diperlakukan seperti ini. Jika kami terus tertindas, bagaimana negara ini akan mencetak generasi unggul yang mampu bersaing di tingkat global,” ungkapnya dengan nada keras.
Lebih jauh lagi, Dr. Maysarah menyoroti tingginya biaya pendidikan pascasarjana (S3) yang harus ditanggung dosen, sementara mereka tidak mendapat peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Beberapa dosen yang telah menempuh pendidikan tinggi juga mengaku dipersulit saat berusaha keluar untuk mencari kondisi yang lebih baik, yang jelas menunjukkan adanya ketidakadilan struktural di perguruan tinggi swasta (PTS).
Dalam surat tersebut, Dr. Maysarah juga menuntut agar Komisi Perlindungan Anak dan Dinas Tenaga Kerja ikut turun tangan untuk menangani pelanggaran hak-hak dosen yang mendapatkan gaji di bawah umpah minimum provinsi (UMP). Bahkan, ia menegaskan bahwa pihak universitas yang tidak memenuhi hak-hak dosen harus bertanggung jawab dan menerima sanksi hukum, bahkan jika perlu, diproses secara pidana.
“Dosen dengan gaji di bawah UMP adalah pelanggaran gak asasi manusia (HAM) . Kalau ada pihak-pihak yang membiarkan ini, kami akan tuntut sekeras-kerasnya,” tegas Dr. Maysarah. Ia juga mengancam akan menarik perhatian internasional jika pemerintah tidak segera bertindak, bahkan siap mengerahkan massa untuk menuntut hak-hak dosen ditegakkan.
Aspirasi ini juga akan dikirimkan langsung kepada Wakil Presiden Gibran, Walikota Medan Bobby Nasution, DPR RI dan sejumlah tokoh penting lainnya, untuk memastikan masalah ini mendapatkan perhatian serius dari pihak yang berwenang di tingkat nasional,“ tegasnya.
Tuntutan ini tidak hanya untuk memperbaiki sistem pendidikan, tetapi juga agar kehidupan para dosen dapat lebih sejahtera. Para dosen berharap pemerintah segera bertindak untuk mewujudkan perubahan besar demi pendidikan tinggi yang lebih bermartabat di Indonesia,” tutupnya.