GARUTNEWSHUNTER307.COM – Setiap 5 Juni, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Internasional untuk mengingatkan bahwa bumi ini sedang tidak baik-baik saja. Krisis iklim, polusi plastik, kehilangan keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan bukanlah peristiwa alam semata, melainkan hasil dari sistem global yang gagal menyeimbangkan pembangunan dan keberlanjutan. Tema yang diangkat tahun ini adalah “Beat Plastic Pollution”, bukan sekadar slogan kosong, tetapi panggilan mendesak untuk menuntut pertanggungjawaban negara, industri, dan sistem hukum internasional yang selama ini kurang berpihak pada bumi. Kamis 05/06/2025
Dalam konteks ini, gerakan masyarakat pun memegang peranan penting untuk menghadirkan perubahan dari bawah yang mampu mendorong etika dan spiritualitas hijau ke ruang kebijakan publik, krisis plastik adalah krisis global. Diperkirakan jutaan ton plastik dibuang ke laut setiap tahunnya. Selain limbahnya, proses produksi plastik juga berkontribusi besar terhadap krisis iklim karena berasal dari bahan bakar fosil yang menyumbang emisi gas rumah kaca dalam jumlah signifikan. Untuk menjawab hal ini, komunitas internasional telah merumuskan berbagai instrumen hukum seperti Konvensi Basel, Konvensi Stockholm, Konvensi Rotterdam, dan Paris Agreement 2015. Sustainable Development Goals (SDGs) terutama Tujuan 12 dan 13 juga menjadi dasar komitmen global menuju keberlanjutan.
Pada Maret 2022, 175 negara menyepakati mandat untuk menyusun Perjanjian Plastik Global (UN Plastics Treaty), yang diharapkan menjadi hukum internasional plastik pertama di dunia. Namun pada sesi kelima (INC-5) di Busan, Korea, akhir 2024, perundingan gagal mencapai kesepakatan terkait pengurangan produksi plastik, akibat tekanan dari industri dan sikap negara-negara penghasil minyak. Hal ini mencerminkan lemahnya hukum internasional yang bergantung pada konsensus negara dan dominasi kepentingan ekonomi jangka pendek. Ketidakadilan ekologis yang terjadi pun paling dirasakan oleh kelompok rentan, terutama Perempuan dan anak-anak.
Indonesia telah menandatangani Paris Agreement dan menyusun komitmen melalui Nationally Determined Contributions (NDC).
Pemerintah menargetkan penurunan emisi hingga 43,2% pada 2030 dengan bantuan internasional. Namun, perizinan industri plastik dan petrokimia masih longgar. Tanpa pembaruan regulasi dan penegakan hukum tegas, komitmen ini hanya menjadi catatan administratif. Negara harus memperketat izin industri, memastikan tanggung jawab produsen atas siklus hidup plastik, dan mengarahkan dana CSR untuk mendukung komunitas akar rumput seperti bank sampah, lembaga pendidikan lingkungan, dan gerakan masyarakat. Penegakan hukum yang transparan dan jaminan atas hak lingkungan hidup yang sehat adalah hak setiap warga negara.
Hak atas lingkungan hidup yang sehat ini nampaknya masih harus terus diperjuangkan oleh Masyarakat. Bersama dengan perjuangan untuk mendapatkan hak tersebut, masyarakat juga memiliki tanggung jawab kolektif untuk merawat bumi. Hubungan manusia dengan alam harus bersifat spiritual dan ekologis, tidak sekadar transaksional. Sebagai bagian dari masyarakat, setiap individu berperan sebagai pendidik, pengelola sumber daya, dan pengambil keputusan dalam skala kecil hingga besar. Keluarga menjadi ruang awal pendidikan ekologis tersebut. Ketika nilai-nilai cinta lingkungan ditanamkan sejak dini melalui pendekatan teologis yang utuh, maka potensi alami manusia untuk menjaga keseimbangan hidup dan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan bumi akan tumbuh dan terjaga. Kesadaran yang dimulai dari rumah ini bisa terus menjadi kesadaran komunal di ruang-ruang publik.
Tema “Beat Plastic Pollution” harus menjadi pengingat bahwa masyarakat punya peran penting mendorong perubahan. Harapannya, “Masyarakat Internasional” yakni Negara dapat melakukan peran yang sama bahkan lebih sehingga hukum internasional dapat berpihak pada keadilan ekologis.
Penulis:
Rachminawati
Anggota Majelis PAUDASMEN PWA Jawa Barat
Dosen Hukum Internasional FH Unpad
Founder Komunitas “Garut Zero Waste”