GARUT, NEWSHUNTER307.COM – Setiap tanggal 1 Juni, kita memperingati Hari Lahir Pancasila – sebuah momentum bersejarah yang tak hanya mengingatkan kita pada pidato monumental Bung Karno di sidang BPUPKI tahun 1945, tetapi juga mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk memahami dan menghayati Pancasila sebagai dasar, falsafah, dan jiwa bangsa yang abadi. Bukan hanya untuk dikenang, melainkan untuk dijadikan pegangan hidup dalam menghadapi derasnya arus perubahan zaman.
Esensi Pancasila adalah merawat keberagaman dalam bingkai persatuan, menegakkan keadilan, mengedepankan nilai kemanusiaan, menjaga kebijaksanaan dalam demokrasi, dan mengupayakan kesejahteraan sosial. Semua Silanya bukanlah doktrin yang kaku, tetapi falsafah hidup yang fleksibel dan relevan sepanjang zaman.
Namun, dalam konteks kekinian, pemaknaan Pancasila menghadapi tantangan yang tak mudah.Perubahan global yang cepat, derasnya arus informasi digital, pergeseran budaya, dan bahkan krisis nilai dalam Masyarakat kita, membuat Pancasila hanya terdengar saat dibacakan pada acara-acara resmi negara. Nilai-nilainya tidak lagi benar-benar membumi. Lebih parahnya, yang mendengar sila-sila itu dibacakan biasanya hanya orang-orang yang ada di institusi pendidikan, pegawai negeri, atau ruang-ruang formal. Masyarakat luas sisanya? Padahal Pancasila adalah milik setiap warga negara Indonesia – petani, pedagang, seniman, buruh, pekerja, ibu rumah tangga, bahkan mereka yang tinggal di pelosok atau di tengah kota.
Pekerjaan Rumah besar bagi pemerintah untuk bukan sekadar mengumandangkan Pancasila sebagai slogan, tetapi mengajak seluruh rakyat untuk terus mengingat, memaknai, dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah harus hadir sebagai teladan utama dalam menjunjung tinggi keadilan, menghargai keberagaman, menjaga persatuan, dan mengedepankan kepentingan rakyat. Jangan justru kita mendapati oknum-oknum pemerintah yang korupsi, memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi, atau bertindak diskriminatif – semua itu jelas merusak makna luhur Pancasila dan mencederai harapan para pendiri bangsa.
Dalam menghadapi tantangan ini, Pancasila justru semakin relevan. Bukan untuk dibacakan saja di ruang-ruang formal, tetapi untuk kembali dihidupkan. Sila pertama tentang Ketuhanan mengajarkan kita untuk menghormati semua keyakinan dan menjalankan keyakinan tersebut dengan sebaik-baiknya. Sila kedua mengingatkan bahwa setiap manusia layak diperlakukan adil dan manusiawi. Sila ketiga memanggil kita untuk merajut persatuan, melampaui sekat-sekat identitas. Sila keempat menuntun kita untuk berdemokrasi dengan bijak dan penuh tanggung jawab. Sila kelima menegaskan bahwa kesejahteraan harus merata, bukan hanya untuk segelintir orang.
Generasi muda hari ini, yang tumbuh di era digital dan globalisasi, memiliki peran penting dalam menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila. Bukan dengan menghafalnya sebagai kewajiban formal, tetapi dengan menerjemahkannya dalam aksi nyata: jujur di tengah godaan budaya instan, menghargai perbedaan di tengah polarisasi opini, aktif dalam komunitas sosial yang positif, dan turut menyuarakan keadilan di ruang-ruang publik, baik secara langsung maupun lewat media digital. Menghidupkan Pancasila berarti menanamkan nilai gotong royong di tengah individualisme, menjunjung persatuan di tengah riuhnya perbedaan, serta menjadi warga negara yang peduli dan bertanggung jawab. Generasi ini adalah penentu apakah Pancasila akan terus hidup dalam kehidupan berbangsa, atau sekadar menjadi warisan saja. Pancasila harus dapat menjadi denyut nadi kehidupan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan Indonesia. Selamat Hari Lahir Pancasila!
Penulis:
Rachminawati
Dosen FH Unpad
Dapat di hubungi di: rachminawati@unpad.ac.id